Agil Nanggala
Dosen Universitas Pendidikan Indonesia
MIM,31 Agustus 2024
Mediaindonesiamaju.com // Diskursus etika politik sejak dimulainya tahapan Pilpres 2024 sampai praktik Pilkada serentak 2024 menjadi penting untuk dibahas. Mengingat etika politik adalah manifestasi political will, political virtue, dan praktik politik yang sehat. Etika politik dipandang menjadi standar moral dalam aktivitas politik yang menjunjung tinggi nilai Pancasila dan sportivitas.
Tetapi makna etika politik menjadi bias ketika pemilu 2024, akibat Putusan MK Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, dengan berbagai argumennya atau sudut pandangnya, baik mendukung selaku keputusan hukum formil, maupun menentang karena cacat secara etik.
Persoalan etika politik menjadi semakin kompleks setelah dipersoalkan elit politik, kelompok akademik, aktivitas hukum dan demokrasi.
Mengingat bersifat anomali, maka perlu menjadi refleksi sosial bersama. Pertarungan atau diskursus mengenai etika politik di media sosial adalah fenomena politik baru, yang berkaitan dengan preferensi dan literasi politik, karena akan efektif apabila disertai karakter politik yang dewasa, kesatria juga filantropis.
Perdebatan etika politik itu berpotensi akan menimbulkan hiperrealitas, sehingga membuat bias mengenai “realitas secara hakiki”, juga “realitas yang disimulasikan”. Karena berkaitan dengan political order atau budaya politik Indonesia.
Memaksakan kehendak atau kabalinger dalam politik tidak diperkenankan. Menimbulkan chaos akibat isu juga mobilisasi politik juga tidaklah bijaksana. Maka penting diskurus etika politik yang berfokus pada pemikiran dan kearifan bukan menjadi dalih konflik sosial yang horizontal, karena sulit untuk diobati.
Keteladanan Politik
Mengelola konflik politik perlu memuat kedewasaan, inklusivitas dan moralitas agar bersifat produktif, dan membuat masyarakat semakin matang berpolitil. Terlebih diskursus etika politik adalah isu yang masif dibahas dalam dunia ilmiah, bukan akar rumput atau grassroot, maka menjadi wahana pendidikan dan pembelajaran politik mumpuni, agar semakin demokratis.
Realitas politik akan konsisten mengalami distori atau ketimpangan antara cita-cita dengan fakta lapangan, seperti timbulnya oligarki dibandingkan kedaulatan rakyat, sehingga diharapkan pemilu politik menjadi wahana menerapkan vox populi vox dei.
Hiperrealitas membuat individu tidak bisa membedakan realitas hakiki dengan ilusi atau fantasi, sehingga objektivitas politik menjadi hilang, dan menimbulkan fanatisme, selaku dogma politik yang anomali. Terlebih diskursus etika politik sebatas sosialisasikan tetapi harus diterapkan agar politik bersifat substantif tidak merusak keadaban publik. Hiperrealitas yang menimbulkan fanatisme bisa menjadi sumber konflik politik secara horizontal, sehingga tidak produktif, membuat cita-cita politik untuk merealisasikan masyarakat demokratis, beradab juga sejahtera.
Tetapi sebatas menimbulkan chaos secara sosial.Sejatinya politisi harus memiliki sikap negarawan, karena tidak ada jabatan atau kekuasaan politik yang abadi. Mengigat dibatasi oleh konstitusi, kehendak rakyat juga kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Sehingga legacy politik paling mumpuni adalah memberikan keteladanan politik, selaku praktik etika politik dan pembangunan sosial.Sihir Sang Pesohor Politik Hiperrealitas menimbulkan preferensi politik yang anomali, sehingga mengarah pada fanatisme politik. Membuat eksistensi pesohor politik menjadi pujaan politik juga percontohan dalam perilaku politik, tentu menghilangkan objektivitas dalam berpolitik. Realitas itu begitu jauh dari substansi politik untuk pendidikan, pelibatan serta pemberdayaan politik warga negara secara inklusif dan bermutu.
Sang pesohor politik perlu memandang penting etika politik yang direalisasikan melalui perilaku, strategi dan praktik politik. Karena masa depan persatuan Indonesia dan kapasitas sumber daya manusia Indonesia yang dipertaruhnkan. Terlebih pesohor politik tidak pernah luput dari pemberitaan media.
Maka tanpa disertai political will dan political virtue berbasis etika politik, akan berpotensi menimbulkan hiperrealitas yang anomali. Pesohor politik dengan segala motif dan intrik politiknya, begitu strategis untuk diliput oleh media, maka turut menjadi sumber preferensi politik publik yang dinamis juga kompleks.
Realitas kedaulatan rakyat tidak boleh dijadikan dalih untuk menyihir sikap politiknya. Tetapi harus menjadi wahana pendidikan juga kebebasan politik, karena keadilan masyarakat yang terusik akan menimbulkan resistensi secara sosial juga politik. Realitas itu membuat pesohor politik harus memandang penting realsiasi etika politik secara transformatif, untuk kehidupan politik yang demokratis.
Pancasila adalah sumber etika politik, maka penting menjadi basis moral pesohor atau aktor politik, supaya keadilan sosial bisa terwujud. Mengingat pesohor politik konsisten menjadi preferensi konstituennya baik secara sikap juga pandangan politik, tentu menjadi kritik sosial bersama. Hiperrealitas politik bisa diatasi melalui aktivitas politik yang memuat etika politik.
“Janganlah kita menekankan semua hal yang membuat kita berbeda, tetapi marilah kita menekankan semua hal yang sama-sama kita miliki” (J. F. Kennedy, 1956). (Red/Fiqih)