Alasan Jokowi Memberikan Izin Penjualan Pasir Laut RI ke Luar Negeri.

- Jurnalis

Friday, 27 September 2024 - 08:47 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

MIM, Jawa Tengah 27 September 2024

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengizinkan ekspor pasir laut setelah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut pada Mei 2023. Setahun kemudian, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengeluarkan dua regulasi pendukung, yaitu Permendag Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024, yang menandai resmi dibukanya ekspor pasir laut. Sebelumnya, sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri, pengambilan pasir laut untuk ekspor dilarang selama 20 tahun akibat polemik yang terjadi. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Isy Karim, menyatakan bahwa ekspor pasir laut kini diperbolehkan dengan syarat kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi.

“Ekspor hasil sedimentasi laut berupa pasir laut diperbolehkan asalkan kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ungkap Isy, seperti dikutip dari Antara, Minggu (15/9/2024).

Menurut Isy, pengerukan pasir laut yang kemudian dijual ke negara lain diperlukan untuk mengatasi sedimentasi yang dapat mengurangi daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir serta kesehatan laut.

Diklaim justru perbaiki ekosistem

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan bahwa kebutuhan reklamasi dalam negeri sangat besar. Namun, pemanfaatan pasir laut sering kali merusak lingkungan karena pasir yang diambil berasal dari pulau-pulau. “Reklamasi ini dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, terbitlah PP Nomor 26 Tahun 2023, yang membolehkan reklamasi asalkan menggunakan pasir sedimentasi,” tambahnya.

Pasir sedimentasi dianggap ideal untuk kebutuhan reklamasi, termasuk mendukung pembangunan IKN dan infrastruktur, dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO). “Peraturan pemerintah ini ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan reklamasi di dalam negeri. Jika ada sisa yang bisa diekspor, silakan saja, asalkan tim kajian menyatakan bahwa sedimentasi tersebut boleh untuk diekspor,” jelasnya.

Tidak merusak alam

Hal serupa juga disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Ia yakin bahwa kebijakan yang memperbolehkan pengerukan dan ekspor pasir laut tidak akan merusak lingkungan. “Tidak, karena sekarang semua menggunakan GPS (global positioning system) dan kita pastikan bahwa pekerjaan ini tidak merusak lingkungan,” ujarnya saat ditemui setelah peluncuran Indonesia Carbon Capture and Storage Center (ICCSC) pada 31 Mei 2023.

Baca Juga :  Perusahaan China-Korsel Bakal Bangun Pabrik Baterai Listrik di RI

“Jika diekspor, manfaatnya pasti jauh lebih besar untuk BUMN dan pemerintah,” tambahnya. Luhut juga menekankan bahwa ekspor pasir laut dapat mendukung kegiatan ekonomi dan industri, terutama dalam pendalaman alur laut. Ia menyebutkan bahwa pengerukan ini justru bermanfaat bagi ekosistem laut karena dapat mengurangi pendangkalan.

“Ini semua untuk kesehatan laut juga. Proyek besar di Rempang (Batam) misalnya, di mana reklamasi dilakukan untuk mendukung industri besar solar panel. Itu sangat besar,” ujarnya. Luhut juga membantah isu bahwa dibukanya ekspor pasir laut akan mempermudah investor dari Singapura berinvestasi di Ibu Kota Nusantara (IKN). “Tidak ada hubungannya dengan itu, baca peraturan pemerintahnya dengan baik,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa pengerukan pasir laut bertujuan untuk pendalaman alur laut agar tidak terjadi sedimentasi.

Disetop Megawati

Untuk diketahui saja, sebelum keluarnya dua Permendag yang diteken Zulkifli Hasan tersebut, ekspor pasir laut adalah aktivitas ilegal selama kurun waktu 20 tahun. Pelarangan ekspor pasir laut dilakukan pemerintah Indonesia pada tahun 2002 atau di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Penghentian ekspor pasir oleh pemerintah dilakukan karena jadi polemik panas kala itu. Kala itu, banyak pihak yang kontra dengan ekspor pasir laut karena hanya menguntungkan Singapura. Sementara Indonesia tidak banyak diuntungkan karena harga pasir yang dinilai terlalu rendah. Belum lagi dampak kerusakan lingkungan, di mana banyak pulau-pulau kecil di Kepualauan Riau (Kepri) hilang kerena terkena abrasi setelah pasirnya dikeruk untuk dikirim ke Singapura. Mengutip pemberian Harian Kompas, 16 Februari 2003, Sejak 1976 hingga 2002, pasir dari perairan Kepri dikeruk untuk mereklamasi Singapura. Volume ekspor pasir ke Singapura sekitar 250 juta meter kubik per tahun.

Baca Juga :  Hasil China Vs Indonesia: Garuda Kalah 1-2

Pada saat itu, banyak pengusaha tongkang yang merekayasa data volume ekspor pasir laut dengan tujuan untuk mengekspor sebanyak mungkin pasir, tanpa memikirkan dampak lingkungan. Menurut pemberitaan Harian Kompas pada 7 Maret 2002, pasir dari Kepri dijual dengan harga 1,3 dolar Singapura per meter kubik, padahal harga yang seharusnya bisa ditawarkan adalah sekitar 4 dolar Singapura. Selisih harga tersebut mengakibatkan Indonesia rugi sekitar 540 juta dolar Singapura atau Rp 2,7 triliun per tahun. Pengerukan pasir secara masif untuk diekspor ke Singapura juga hampir membuat Pulau Nipa di Batam tenggelam akibat abrasi, padahal pulau tersebut merupakan salah satu tolok ukur perbatasan Indonesia dengan Singapura. Karena kontroversi yang terus berlanjut, Presiden Megawati Soekarnoputri akhirnya resmi melarang ekspor pasir laut ke luar negeri.

Megawati memerintahkan para menterinya untuk segera menghentikan ekspor pasir laut. Selanjutnya, Surat Keputusan Bersama (SKB) diterbitkan oleh tiga menteri saat itu. SKB.07/MEN/2/2002 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut ditandatangani pada 14 Februari 2002 oleh tiga menteri: Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno, Menteri Kelautan dan Perikanan Rohkmin Dahuri, dan Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim.

Secara terpisah, Rini Soemarno juga menerbitkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Namun, keluarnya SK tersebut tidak menyurutkan penjualan pasir laut, baik yang legal maupun ilegal. Akibatnya, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 02/M-DAG/PER/1/2007 tentang Larangan Ekspor Pasir, Tanah, dan Top Soil pun diterbitkan. Meskipun larangan tersebut telah diberlakukan sejak 2007, ekspor pasir laut ke Singapura tetap berlangsung secara ilegal setidaknya hingga 2012. Hal ini disebabkan oleh harga pasir di Singapura yang dua kali lipat lebih mahal dibandingkan harga di dalam negeri.

(sumber dari kompas.com)

Berita Terkait

Jalan Tol Baru di Jawa Tengah Akan Hubungkan 3 Provinsi Sekaligus, Nilai Investasinya Capai Rp38,47 Triliun
Modus Perampasan Motor di Jatinegara, Pelaku Mengaku jadi Petugas Leasing dan Menuduh Korban Nunggak Cicilan
Ini Tujuan BRICS Percepat Peluncuran Mata Uang Digital Baru
Polisi Periksa 4 Saksi Terkait Penemuan Mayat Perempuan Dalam Toren
Rococo: Keanggunan Arsitektur Prancis Sebelum Era Neoklasi
Topeng Emas Agamemnon: Misteri Kematian dan Penemuan di Liang Kubur
Kisah Srikandi Damkar Kota Bogor, Ketangguhan di Balik Api dan Bara
Eks Komisioner Komnas HAM Amiruddin Nantikan Program Menteri Pigai
Berita ini 3 kali dibaca

Berita Terkait

Friday, 25 October 2024 - 10:27 WIB

Jalan Tol Baru di Jawa Tengah Akan Hubungkan 3 Provinsi Sekaligus, Nilai Investasinya Capai Rp38,47 Triliun

Friday, 25 October 2024 - 10:25 WIB

Modus Perampasan Motor di Jatinegara, Pelaku Mengaku jadi Petugas Leasing dan Menuduh Korban Nunggak Cicilan

Friday, 25 October 2024 - 10:19 WIB

Ini Tujuan BRICS Percepat Peluncuran Mata Uang Digital Baru

Friday, 25 October 2024 - 09:58 WIB

Polisi Periksa 4 Saksi Terkait Penemuan Mayat Perempuan Dalam Toren

Friday, 25 October 2024 - 09:37 WIB

Rococo: Keanggunan Arsitektur Prancis Sebelum Era Neoklasi

Berita Terbaru

Berita

Ini Tujuan BRICS Percepat Peluncuran Mata Uang Digital Baru

Friday, 25 Oct 2024 - 10:19 WIB

Desain

Rococo: Keanggunan Arsitektur Prancis Sebelum Era Neoklasi

Friday, 25 Oct 2024 - 09:37 WIB