MIM, JAWA TENGAH, 17 OKTOBER 2024
Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini menolak permohonan untuk memperluas subjek pelaku tindak pidana politik uang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam putusannya, Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa perluasan tersebut dapat berpotensi mengkriminalisasi setiap individu dan berisiko menimbulkan kesewenang-wenangan.
Dalam sidang yang berlangsung di Jakarta, MK memutuskan perkara nomor 59/PUU-XXII/2024 dan menegaskan bahwa pengaturan dalam Pasal 523 UU Pemilu yang mencakup ‘pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye’ sudah cukup. Para pemohon, yang merupakan akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), berargumen bahwa batasan ini terlalu sempit dan memungkinkan relawan atau simpatisan yang tidak terdaftar untuk melakukan praktik politik uang tanpa sanksi.
MK berpendapat bahwa memperluas frasa subjek pelaku menjadi ‘setiap orang’ tidak tepat, karena hal ini dapat berujung pada tindakan kriminalisasi yang tidak proporsional. Suhartoyo mengingatkan bahwa penegakan hukum harus berdasarkan kebijakan yang jelas dan tidak sewenang-wenang.
Ia juga mencatat bahwa frasa ‘setiap orang’ sebenarnya sudah terakomodasi dalam istilah ‘orang-seorang’ yang tercantum dalam Pasal 269-271 UU Pemilu, yang mengatur pelaksana kampanye. MK menekankan bahwa jika ada anggapan kelemahan dalam UU Pemilu terkait subjek hukum ini, maka kewenangan untuk mengubahnya ada pada pembentuk undang-undang, yang dapat merumuskan norma baru dalam revisi mendatang.
Dengan demikian, MK menegaskan pentingnya kepastian hukum dan perlindungan dari tindakan sewenang-wenang dalam upaya penegakan hukum terhadap praktik politik uang di Indonesia.
alya-red