MIM,02 Agustus 2024
mediaindonesia//Medan – Apa yang ada di pikiran kita ketika melihat kekuasaan terhadap pemerintahan dan partai politik dikuasai dan dipimpin oleh garis keturunan sama?
Kondisi ini tentu dianggap lazim, karena demokrasi di Indonesia hari ini, tampaknya tidak lepas dari praktik dinasti politik yang bertolak belakang dengan prinsip reformasi.
Dinasti politik dianggap sebagai dampak dari lemahnya pelembagaan partai politik dan tidak berjalannya fungsi partai politik. Hal tersebut dinilai menimbulkan kecenderungan menguatnya kekerabatan dalam birokrasi yang kerap dikenal sebagai nepotisme.
Pasalnya, pemilik partai-partai bisa saja lebih mengutamakan kerabatnya dibandingkan calon lain yang lebih kompeten.
“Jelas praktik dinasti politik ini tidak sehat bagi demokrasi kita,” ujar pakar komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, kepada Tirto, Kamis (1/8/2024).
Praktik politik dinasti bisa dilihat dari presiden kita, yakni Joko Widodo (Jokowi). Kepala Negara itu mampu membangun imperium baru. Anak pertama, Gibran Rakabuming Raka, berhasil menjadi Wali Kota Solo dan sekarang dengan mudah melenggang menjadi wakil presiden terpilih mendampingi Prabowo Subianto.
Jalan mulus Gibran tidak lepas dari campur tangan pamannya, Anwar Usman, ketika menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Anwar Usman sempat mengatur mengenai klausul tambahan terkait batas usia minimal bakal capres dan cawapres, sehingga meloloskan Gibran untuk daftar pencalonan.
Sang menantu, Bobby Nasution juga diberikan karpet merah untuk menjadi Wali Kota Medan dengan sangat mudah. Sekarang Bobby bahkan mendapatkan tiket maju di Pilkada Sumatera Utara 2024 dan telah mendapatkan dukungan dari banyak partai politik.
Dan, saat ini Jokowi tampaknya juga sedang mempersiapkan anak bungsunya, Kaesang Pangarep untuk maju di Pilkada 2024. Pilihannya ada dua yakni antara Jakarta atau Jawa Tengah.
Di Indonesia sendiri, praktik dinasti politik bukan saja terjadi di level pemerintahan pusat. Tetapi sudah lebih dulu merambah pada level daerah. Contoh nyata adalah dinasti Ratu Atut di Banten, dinasti Fuad Amin di Bangkalan, Madura, lalu ada dinasti Limpo di Sulawesi Selatan dan beberapa dinasti lainnya.
Dinasti Politik Juga Merambah ke Parpol
Kini, dinasti politik juga tampak mengakar di tubuh partai politik. Baru-baru ini Hary Tanoesoedibjo melepaskan jabatannya dari Ketua Umum Partai Perindo. Hary Tanoe menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan partainya kepada Angela Tanoesoedibjo yang juga merupakan anaknya. Angela sendiri saat ini masih menjabat Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, melihat Perindo adalah contoh yang disebut dengan personalisasi partai politik. Hal ini karena sejak awal dibentuk dan didanai oleh Hary Tanoe, citra keluarga Hary Tanoe sangat kuat di Perindo.
Keduanya ibarat jadi dua sisi uang koin, keluarga Hary Tanoe adalah Perindo dan Perindo adalah keluarga Hary Tanoe.
“Adanya figur atau keluarganya yang begitu kuat mengakibatkan rotasi kepemimpinan sulit dilakukan. Partai politik menjadi tidak ideal karena tidak terinstitusionalisasi dengan baik,” kata dia kepada Tirto, Senin (1/8/2024).