MIM, JAWA TENGAH, 05 OKTOBER 2025
Blora – Mediaindonesiamaju.com Dunia jurnalisme di Indonesia sedang mengalami turbulensi hebat. Antara tekanan bisnis, disrupsi media sosial, dan perjuangan melawan banjir informasi palsu, kredibilitas pers seolah dipertaruhkan setiap hari.
Di tengah krisis kepercayaan ini, muncul energi segar yang tak terduga, mahasiswa.
Jurnalisme tidak lagi menjadi domain eksklusif mereka yang berpredikat profesional. Mahasiswa, melalui pers mahasiswa (persma) atau sebagai jurnalis kontributor di media umum, membawa perspektif yang krusial dan otentik.
Mereka bukan sekadar generasi penerus, melainkan agen perubahan yang secara aktif mendefinisikan kembali bagaimana sebuah berita disajikan dan direspons.
Apa yang membuat jurnalis mahasiswa begitu penting? Pertama, otentisitas. Sebagai bagian dari kelompok yang vokal, idealis, dan sering kali menjadi korban langsung dari kebijakan publik, mereka memiliki kepekaan yang tinggi terhadap isu-isu akar rumput, mulai dari mahalnya UKT, permasalahan lingkungan lokal, hingga kesehatan mental.
Mereka menulis bukan hanya sebagai pelapor, tetapi sebagai pihak yang mengalami. Hal ini menghasilkan reportase yang jauh lebih dalam, jujur, dan memiliki daya kejut emosional yang kuat bagi pembaca sebaya.
Berbeda dengan media arus utama yang terkadang terikat pada kepentingan politik atau korporasi, jurnalis mahasiswa umumnya memiliki independensi idealisme yang lebih tinggi.
Mereka berada di garis depan kritik terhadap kebijakan kampus, otoritas lokal, bahkan isu-isu nasional yang luput dari sorotan media besar.
Mereka adalah ‘penjaga gerbang’ yang menolak membiarkan narasi tunggal mendominasi.
Tantangan di persimpangan jalan, amun, menjadi jurnalis dari kalangan mahasiswa bukanlah tanpa hambatan. Tantangan terbesar adalah keterbatasan sumber daya dan legalitas perlindungan.
Pers mahasiswa seringkali beroperasi dengan dana minim, tanpa akses pelatihan profesional yang memadai, dan yang paling mengkhawatirkan, tanpa payung hukum yang kuat.
Ketika mereka memberitakan kasus sensitif di lingkungan kampus atau kebijakan publik yang merugikan, mereka rentan terhadap intervensi, pembredelan, bahkan sanksi akademik.
Situasi ini menciptakan dilema etis, mempertahankan idealisme jurnalistik atau mengorbankan masa depan akademik. Ini adalah situasi yang tak adil, yang menuntut adanya jaminan perlindungan bagi aktivitas jurnalistik mahasiswa, sejalan dengan yang berlaku bagi jurnalis profesional.
Selain itu, di era digital, mereka harus berhadapan dengan dilema lain, yakni keseimbangan antara viralitas dan kredibilitas. Sebagai generasi yang tumbuh di media sosial, godaan untuk mengejar klik seringkali lebih besar.
Mahasiswa jurnalis perlu konsisten mengedepankan verifikasi, keberimbangan, dan kode etik, agar peran mereka tidak tergerus menjadi sekadar content creator yang didorong oleh algoritma.
Pemerintah, Dewan Pers, dan institusi pendidikan harus melihat fenomena ini bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai investasi masa depan jurnalisme.
Kita membutuhkan energi baru ini untuk menyuntikkan kembali darah segar jurnalisme kritis.
Mahasiswa adalah laboratorium ide bagi jurnalisme yang adaptif, beretika, dan berani. Mereka adalah bukti bahwa semangat melaporkan kebenaran, terlepas dari latar belakang atau batasan umur, akan selalu relevan.
Memberi dukungan penuh dan perlindungan yang layak bagi jurnalis mahasiswa sama dengan berinvestasi pada kualitas demokrasi dan kejernihan informasi di masa depan bangsa.
Ini adalah saatnya bagi ruang redaksi profesional untuk membuka pintu lebih lebar, belajar dari semangat investigasi ala kampus, dan memberikan mentorship yang terstruktur.
Sebab, suara mahasiswa hari ini adalah oksigen yang akan menentukan apakah pers Indonesia besok masih bisa bernapas bebas.
Rep : Latif