MIM,18 Agustus 2025
Gelombang kritik kembali menyeruak. Di tengah sorotan publik, sejumlah anggota DPRD justru ngotot meminta kenaikan anggaran Pokok-Pokok Pikiran (Pokir). Padahal, instrumen ini sejak lama dicap sebagai lahan basah penyimpangan, rawan transaksional, bahkan berpotensi menjadi mesin korupsi.
Secara hukum, Pokir memang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Permendagri Nomor 86 Tahun 2017. Namun, praktik di lapangan jauh panggang dari api. Alih-alih menjadi saluran aspirasi rakyat, Pokir sering kali menjelma menjadi bancakan elit politik daerah.
Beberapa modus penyimpangan yang kerap terjadi antara lain:
- Intervensi proyek: Dewan ikut campur menunjuk kontraktor, mematikan mekanisme lelang terbuka.
- Pokir transaksional: Dijadikan komoditas politik-ekonomi. Kontraktor dipalak “fee”, sementara program hanya menguntungkan kelompok tertentu.
- Pokir siluman: Usulan dadakan masuk APBD tanpa proses Musrenbang, karena ada “deal” politik.
- Pemaksaan politik: Pemda ditekan agar mengakomodasi Pokir, dengan ancaman penolakan APBD.
Akibatnya, anggaran daerah tersandera kepentingan elit, perencanaan pembangunan menjadi kacau, dan program salah sasaran. Lebih jauh, penyalahgunaan Pokir juga memicu ketimpangan pembangunan, korupsi berjamaah, serta politik dagang sapi yang semakin menjauhkan dewan dari amanat rakyat.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah berulang kali memperingatkan soal potensi korupsi dari skema Pokir. Namun bukannya dibersihkan, anggaran ini justru terus dipelihara dan kini bahkan diminta untuk dinaikkan.
Pertanyaan pun mengemuka: untuk siapa sebenarnya Pokir ini? Untuk rakyat atau sekadar untuk perut anggota dewan?
Tak heran jika gelombang desakan publik semakin keras: hapuskan Pokir! Selama pintu gelap itu masih terbuka, publik hanya akan terus menyaksikan satu hal—uang rakyat dihisap, pembangunan tersendat, dan demokrasi dijadikan komoditas murahan.
Rep_Fiqih