MIM, JAWA TENGAH, 31 OKTOBER 2025
Pemalang, – Mediaindonesiamaju.com Insiden serius yang mengancam pilar demokrasi dan kebebasan pers terjadi di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Konser musik akbar “Melepas Penat Pemalang” yang menghadirkan musisi kenamaan Denny Caknan dan Ndarboy Genk pada Kamis (30/10/2025) malam di Terminal Pemalang, berujung pada konfrontasi antara jurnalis lokal dan panitia penyelenggara dari Event Organizer (EO) Shaolin Music.
Peristiwa ini bukan sekadar cekcok biasa, melainkan sorotan tajam terhadap dugaan kuat pelanggaran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), yang mengindikasikan semakin memprihatinkannya penghargaan terhadap kerja jurnalistik di daerah tersebut.

Diskriminasi Akses dan “Media Sosial” Pilihan
Permasalahan mencuat ketika sejumlah wartawan yang hendak menjalankan tugas peliputan dihalang-halangi aksesnya oleh petugas di lapangan.
Dentang HS, seorang jurnalis dari media Lentera Rakyat, menjadi salah satu korban kebijakan diskriminatif tersebut.
Menurut Dentang, saat ia dan rekannya meminta izin masuk di pos tiket, panitia menolak akses mereka dengan alasan yang menciderai marwah profesi wartawan. Panitia bersikeras bahwa prioritas akses diberikan hanya kepada media yang telah memiliki ikatan kerja sama atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan pihak EO.
“Media lokal, wartawan lokal gak bisa masuk. Jika mau masuk dihitung penonton, harus bayar,” tutur Dentang, mengutip pernyataan panitia, saat diwawancarai oleh Erapos Online pada Jumat (31/10/2025).

Yang lebih ironis, Dentang mengungkapkan bahwa panitia menyebut sekitar 50 “media” yang berkolaborasi dengan mereka justru berasal dari platform media sosial (medsos), bukan media massa profesional yang terverifikasi. Hal ini memunculkan pertanyaan besar mengenai standar operasional prosedur dan profesionalisme EO dalam mengelola acara publik.
Intervensi Hukum dan Sanksi Pidana Menanti
Perlakuan sepihak ini memicu kemarahan kolektif dari insan pers lokal. Para wartawan mendatangi lokasi konser untuk meminta klarifikasi, yang terekam dalam video amatir yang juga memperlihatkan dugaan keterlibatan anggota kepolisian dalam menghalau wartawan masuk.
Imam Subiyanto, praktisi hukum sekaligus akademisi dari Law Office Putra Pratama & Partners, angkat bicara mengenai insiden ini. Ia menegaskan bahwa perilaku panitia telah melampaui batas koordinasi dan masuk ke ranah potensi pelanggaran hukum pers yang serius.
“Undang‑Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) secara tegas menjamin bahwa pers nasional tidak boleh dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran,” tegas Imam. Ia menekankan bahwa fungsi pers sebagai kontrol sosial dilindungi penuh oleh konstitusi.
Konsekuensi hukum bagi para pihak yang menghalangi kerja pers tidak main-main. Pasal 18 UU Pers mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda maksimal Rp500 juta. Ancaman ini menjadi peringatan keras bagi EO Shaolin Music dan pihak terkait lainnya.
Tiga Pertanyaan Kritis untuk Pemkab Pemalang
Imam Subiyanto juga mendesak adanya transparansi dan pengawasan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pemalang terkait penggunaan fasilitas publik untuk acara komersial semacam ini. Ia melontarkan tiga pertanyaan kunci yang menuntut jawaban dari pihak berwenang:
Apakah penyelenggara telah menyediakan jalur resmi dan terbuka yang adil bagi seluruh wartawan sesuai standar liputan acara publik?
Mengapa ada perbedaan signifikan dalam akses yang diberikan, memisahkan penonton umum dengan media yang memiliki fungsi kontrol sosial?
Apakah Pemkab Pemalang dan aparat terkait telah melakukan pengawasan yang memadai terhadap penyelenggaraan acara yang memanfaatkan fasilitas publik strategis seperti terminal?
Insiden ini menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Pemalang, menyoroti perlunya sosialisasi masif mengenai UU Pers kepada semua elemen masyarakat, termasuk penyelenggara acara dan aparat keamanan.
Rep : Farras










