Sekali lagi, umat Islam Indonesia kemungkinan akan memulai ibadah puasanya pada tanggal yang berbeda. Muhammadiyah, yang telah lebih dulu menetapkan awal bulan Ramadan, mengusulkan agar sidang isbat ditiadakan, meski itu jadi acuan bagi Nahdlatul Ulama (NU) dan pemerintah dalam menentukan tanggal. Mengapa penolakan muncul, dan bagaimana seharusnya peran negara dalam hal ini?
Muhammadiyah – organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia – telah menetapkan 11 Maret 2024 sebagai awal Ramadan dan 10 April sebagai awal Syawal di tahun 1445 kalender Hijriah. Tanggal ini didapat dengan menggunakan metode hisab atau penghitungan.
Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengatakan hasil hisab itu sudah cukup untuk menjadi landasan penentuan tanggal, sehingga sidang isbat tak lagi diperlukan.
“Dengan tidak diadakan isbat, lebih menghemat anggaran negara yang secara keuangan sedang tidak baik-baik saja,” kata Abdul.
Ini dilakukan dengan mempertimbangkan hisab dan hasil pemantauan hilal di 134 lokasi di seluruh Indonesia.
Kementerian Agama menegaskan sidang isbat penting dilaksanakan sebagai bentuk kehadiran negara untuk menengahi perbedaan metode berbagai organisasi dalam menentukan awal Ramadan dan Syawal.
Sementara itu, NU mengatakan “mustahil” untuk menghapus sidang isbat, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam sejarah Islam.
Alasan di balik usulan Muhammadiyah
Sejak Januari, Muhammadiyah telah mengumumkan awal bulan Ramadan dan Syawal, yang masing-masing menandai dimulainya ibadah puasa dan hari raya Idul Fitri.
Merujuk Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 1/MLM/I.0/E/2024, awal Ramadan disebut akan jatuh pada 11 Maret dalam kalender Masehi, sementara awal Syawal bakal jatuh pada 10 April.
Muhammadiyah menggunakan metode hisab atau penghitungan dalam menentukan tanggal-tanggal tersebut.
Secara lebih spesifik, Muhammadiyah menggunakan metode hisab hakiki yang berpatokan pada peredaran bulan dan matahari secara hakiki atau sebenarnya, dengan kriteria wujudul hilal atau terbentuknya hilal – bulan sabit tipis yang menandai awal bulan baru.
Respons pemerintah dan NU
Pemerintah menegaskan sidang isbat penting dilaksanakan sebagai bentuk kehadiran negara untuk menengahi perbedaan metode berbagai organisasi Islam di Indonesia dalam menentukan awal Ramadan dan Syawal.
Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah di Kementerian Agama, Adib, mengatakan Indonesia bukanlah negara agama ataupun sekuler.
Karena itu, pemerintah tidak bisa menyerahkan sepenuhnya urusan agama ke individu atau kelompok tertentu, yang kerap memiliki metode dan standar berbeda dalam penentuan awal bulan Hijriah.
“Sidang isbat dibutuhkan sebagai forum bersama mengambil keputusan,” kata Adib.
“Ini diperlukan sebagai bentuk kehadiran negara dalam memberikan acuan bagi umat Islam untuk mengawali puasa Ramadan dan ber-Lebaran.”
Meski begitu, hasil sidang isbat pun tidak wajib diikuti seluruh umat Islam di Indonesia.
Setiap orang berhak memulai ibadah puasa dan merayakan Lebaran sesuai dengan tanggal yang ditetapkan berdasarkan metode yang diyakininya, kata Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
“Untuk menyamakan kriteria ini kan memang belum ketemu. Oleh karena itu, maka sikap yang kita harus bangun adalah sikap saling pengertian, legawa untuk bisa berbeda,” kata Ma’ruf pada Kamis (07/03).
“Dan, itu sudah lama kita biasa berbeda. Jadi masing-masing saja.”