MIM, Kalimantan 29 Juni 2025
Samarinda ,Mediaindonesiamaju.com– Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud, tengah menggagas kebijakan baru terkait pengangkutan alat berat dan batu bara. Dalam pertemuan dengan para pelaku usaha tambang dan migas di Jakarta, Rudy mewacanakan agar seluruh angkutan tambang tidak lagi melintasi jalan darat, melainkan dialihkan ke jalur perairan.
Menurut Rudy, beban tonase yang sangat besar dari kendaraan angkutan tambang menjadi penyebab utama kerusakan jalan nasional maupun provinsi di Kaltim. “Seluruh angkutan alat berat kalau bisa lewat jalur sungai atau laut, supaya tidak merusak jalan nasional maupun provinsi,” ujarnya. Rudy mencontohkan, bobot satu trailer dengan alat berat bisa mencapai 60 ton, yang berdampak signifikan pada infrastruktur jalan.
Pemprov Kaltim, lanjut Rudy, telah berkoordinasi dengan Kapolda Kaltim untuk menghentikan penggunaan jalan raya oleh kendaraan tambang. Ia menegaskan, pemerintah tetap akan melindungi investasi di sektor pertambangan, namun perusahaan juga harus bertanggung jawab menjaga infrastruktur daerah. “Jangan mempercepat kerusakan jalan-jalan di Kaltim,” tambahnya.
Namun wacana tersebut mendapat respons kritis dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur. Windy Pranata, dari Divisi Advokasi dan Database JATAM Kaltim, menyebut rencana ini tidak bisa diambil secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat. Ia menekankan pentingnya transparansi dalam seluruh rantai produksi dan distribusi sumber daya alam di Kalimantan Timur, yang selama ini minim pengawasan publik.
“Mungkin harus dilihat dulu, karena permasalahan sebenarnya dari produksi hingga distribusi seluruh rantai pengerukan sumber daya alam seperti batu bara, kayu, itu sampai hari ini tidak ada transparansinya, bahkan keterlibatan masyarakat secara utuh,” jelas Windy. Ia menambahkan, jika jalur sungai dijadikan solusi alternatif, maka masyarakat lokal harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Windy juga menyoroti potensi dampak serius dari peningkatan lalu lintas tongkang di Sungai Mahakam. Sejak diresmikannya Jembatan Mahakam, telah tercatat 23 insiden penabrakan oleh tongkang. Jika intensitas pengangkutan batu bara meningkat, masyarakat yang menggantungkan hidup di sungai seperti nelayan dan petambak akan terdampak langsung.
“Setiap sore, di hilir Jembatan Mahkota itu bisa parkir ratusan tongkang. Itu mengganggu ruang ekonomi masyarakat. Bahkan keramba petambak pun sering ditabrak tongkang batubara,” katanya.
Menurut Windy, solusi yang diajukan gubernur hanya akan memindahkan masalah dari darat ke perairan. “Solusi ini enggak menjamin keselamatan masyarakat, justru hanya memindahkan kekacauan dari darat ke perairan,” tegasnya.
Lebih lanjut, JATAM juga mengkritik kegagalan pemerintah dalam menindak tegas perusahaan tambang atas kerusakan jalan dan ekosistem. Windy mengingatkan bahwa Sungai Mahakam bukan sekadar jalur logistik, tapi juga habitat penting bagi berbagai makhluk hidup, termasuk satwa endemik seperti pesut Mahakam.
“Transportasi sungai ini berdampak besar, bukan cuma ke masyarakat, tapi juga ekosistem. Intensitas sonar kapal akan mengganggu habitat pesut Mahakam. Sekarang jumlahnya bahkan sudah di bawah 100 ekor,” ujarnya.
JATAM mendesak agar rencana tersebut dikaji lebih serius dan melibatkan berbagai pihak secara menyeluruh. Baik dari unsur pemerintah, perusahaan tambang, hingga masyarakat terdampak. “Intinya, ini harus dikaji lebih serius. Jangan hanya membuat wacana lalu memindahkan masalah dari darat ke sungai seolah-olah jadi solusi,” pungkas Windy.
Rep_Apandi