MIM,Sumut 24 Juni 2025
Sumatera Utara ,Mediaindonesiamaju.com– Kegagalan aparat kepolisian dalam menangkap tiga orang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) terkait kasus penganiayaan di Medan memantik gelombang kritik tajam dari publik. Arini Ruth Yuni br Siringoringo, Erika br Siringoringo, dan Nurintan br Nababan masih bebas berkeliaran, meskipun telah ditetapkan sebagai DPO sejak 14 April 2025.
Kasus ini bermula dari perkelahian antar keluarga yang berujung pada laporan balik antara Doris selaku korban dan pihak pelaku. Doris melaporkan kasus ini ke Polrestabes Medan pada 10 November 2023 dengan sangkaan pasal 170 Jo 351 KUHP. Namun, hingga kini, kasus tersebut mandek di kepolisian. Ironisnya, laporan balik yang diajukan Erika terhadap Doris di Polsek Medan Area pada 9 November 2023 justru telah disidangkan hingga mencapai tahap putusan, dan saat ini tengah memasuki proses banding oleh jaksa.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius dari publik dan keluarga korban: mengapa jaksa melanjutkan proses hukum terhadap Doris sementara pelaporan utama yang lebih dahulu masuk justru tidak bergerak? Bukankah saat SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) dikeluarkan, kejaksaan sudah mendapatkan informasi soal pelaku utama? Di mana posisi keadilan dan kepastian hukum dalam kasus ini?
Lebih mengejutkan lagi, salah satu DPO, Arini Ruth Yuni br Siringoringo, diketahui berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di KPP Pratama Cilandak, Jakarta Selatan. Namun hingga kini, ia belum menyerahkan diri, meskipun sebagai ASN seharusnya menjadi contoh dalam ketaatan hukum.
Sebuah informasi yang beredar luas menyebutkan bahwa ketiga DPO ini pernah diamankan oleh Polsek Bandara Kualanamu. Namun, mereka dilepaskan kembali dengan alasan orang tua sakit dan kekurangan personel. Keputusan ini menambah panjang daftar kecurigaan masyarakat akan adanya kolusi antara aparat dan para pelaku.
“Bagaimana mungkin tiga orang yang sudah masuk DPO bisa dilepas begitu saja? Ini bukan hanya persoalan teknis, tapi menyangkut integritas penegak hukum,” ujar salah satu keluarga korban.
Tak hanya itu, pihak keluarga korban juga mengungkap dugaan adanya praktik suap yang menghambat proses penangkapan. “Kalau polisi mau menangkap, di mana pun mereka bisa. Alat dan sumber daya ada. Tapi dalam kasus ini, seolah-olah mereka tak berniat menindak. Apa karena sudah ada yang menyuap?” tuding pihak keluarga Doris.
Pernyataan keras ini menjadi tamparan bagi institusi kepolisian dan menjadi cerminan runtuhnya kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum yang adil.
Kapolda Sumatera Utara, Irjen Pol. Whisnu Hermawan Februanto, kini berada di bawah sorotan tajam. Ia dituntut segera turun tangan, bersikap tegas, dan menuntaskan kasus ini secara transparan. Keheningan dan ketidakpedulian hanya akan memperdalam luka kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian.
Masyarakat kini menanti langkah nyata, bukan sekadar retorika. Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, demi menjaga marwah hukum dan kepercayaan publik yang semakin tergerus. (Tim)