MIM, Jakarta 27 Agustus 2025
Jakarta,Mediaindonesiamaju.com– Mahkamah Agung (MA) baru saja memperingati 80 tahun berdirinya dengan tagline “Peradilan Bermartabat – Negara Berdaulat”. Namun, di tengah momentum itu, keputusan MA mengangkat kembali Itong Isnaeni Hidayat—mantan hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang pernah divonis 5 tahun penjara karena menerima suap—sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di PN Surabaya, menuai sorotan tajam.
Langkah ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin seorang terpidana kasus korupsi, terlebih hakim yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK, bisa kembali bekerja di institusi peradilan bahkan di tempat ia dahulu melakukan pelanggaran?
Pertentangan Aturan
Mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, syarat menjadi ASN adalah tidak pernah dipidana penjara dua tahun atau lebih. Fakta bahwa Itong divonis 5 tahun penjara dalam kasus suap, jelas menimbulkan kontradiksi serius terhadap pengangkatannya kembali.
Korupsi: Luka dalam Tubuh Peradilan
Kasus Itong bukan pelanggaran ringan. Ia ditangkap tangan KPK karena menerima suap untuk mengatur putusan perkara. Majelis Kehormatan Hakim saat itu juga menegaskan perbuatannya mencederai marwah kehakiman dan melanggar kode etik berat. Seorang hakim, simbol keadilan, justru memperdagangkan putusan di meja hijau—sebuah pengkhianatan terhadap hukum sekaligus kepercayaan publik.
Pesan Buruk untuk Publik
Keputusan MA ini menimbulkan dampak berlapis:
- Bagi hukum: aturan yang seharusnya jelas terkesan bisa dilonggarkan demi memberi ruang bagi pelanggar.
- Bagi masyarakat: kepercayaan terhadap peradilan kian runtuh. Jika mantan koruptor bisa kembali ke pengadilan, di mana letak integritas hukum?
- Bagi aparat internal: pesan yang muncul justru berbahaya, bahwa pelanggaran berat sekalipun masih bisa “dimaafkan” dengan jabatan baru.
Integritas Bukan Barang Murah
Pengadilan seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan. Namun, ketika mantan hakim koruptor kembali diangkat sebagai ASN, benteng itu justru retak. Alih-alih memperkuat integritas di momen peringatan 80 tahun, MA justru mencatat preseden buruk yang berpotensi merusak marwah lembaga peradilan.
Masyarakat kini berhak bertanya: apakah ini bentuk “rehabilitasi” yang dimaksud, atau justru tamparan keras bagi upaya pemberantasan korupsi di negeri ini?
Penutup
Integritas adalah syarat mutlak bagi tegaknya hukum. Tanpa integritas, hukum hanya menjadi prosedur kosong yang bisa diperjualbelikan. Jika lembaga setinggi MA saja mengabaikan aturan dan etika, maka pesan yang sampai ke publik jelas: perang melawan korupsi tidak pernah dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Dan ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap martabat pengadilan, itu berarti salah satu pilar utama negara hukum sedang goyah.
Rep_ Fiqih