MIM, Jakarta 06 Juli 2025
JAKARTA, Mediaindonesiamaju.com— Kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang berkaitan dengan proyek penimbunan Dermaga milik Pelindo di Lombok Barat kini memasuki babak baru. Berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/116.a/VII/RES.1.24/2024/Ditreskrimum tertanggal 2 Juli 2024, kasus tersebut resmi naik ke tahap penyidikan oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTB.
Namun, peningkatan status ini menuai sorotan dan kritik tajam dari kuasa hukum terlapor, Mawardi. Advokat Lilik Adi Gunawan, S.H., Managing Partner dari Kasihhati Law Firm, menyebut langkah yang diambil penyidik terkesan spekulatif dan tidak didasari pendalaman yang menyeluruh atas kronologi kasus yang telah berlangsung lama.
“Terkesan ada pemaksaan vonis tanpa ruang banding dan mengabaikan fakta adanya putusan perdata yang seharusnya dijadikan pertimbangan hakim dalam melihat keadilan,” kata Lilik saat diwawancara awak media di Jakarta, Minggu (6/7/2025).
Ia menilai bahwa pimpinan baru di Ditreskrimum Polda NTB belum memahami secara utuh proses awal kasus ini. “Ada kesan tergesa-gesa dalam menyimpulkan. Padahal kasus ini sudah pernah dilimpahkan ke Reskrimsus dan berproses selama satu tahun, lalu kini kembali ditangani oleh Reskrimum,” ujarnya.
Mawardi, yang juga menjabat sebagai Ketua Setwil Forum Pers Independent Indonesia (FPII) NTB, menyampaikan bahwa dirinya telah menerima Surat Panggilan Saksi Ke-1 dari Polda NTB dengan Nomor: S.Pgl/584/VII/RES.1.24./2025/Ditreskrimum pada 18 Juni 2025. Namun, ia memilih untuk menunda kehadirannya dengan mengirimkan surat resmi.
“Saya telah menunjuk Adv. Lilik Adi Gunawan, S.H. untuk mendampingi saya secara hukum dalam proses ini, sebagai bentuk pembelaan diri atas tindakan yang kami nilai arogan dan sewenang-wenang,” ungkap Mawardi melalui sambungan telepon.
Lilik menegaskan pihaknya akan mengajukan surat resmi kepada Kapolri agar membentuk tim khusus guna mengkaji ulang proses hukum yang menurutnya sarat dengan tendensi. “Kami menduga ada upaya kriminalisasi secara terstruktur dan sistematis terhadap klien kami, yang mencoreng institusi kepolisian jika tidak segera ditangani secara objektif,” tegasnya.
Dalam penjelasannya, Lilik juga membeberkan kronologi hukum yang dialami Mawardi. Ia menjelaskan bahwa kliennya telah menjalani hukuman dalam perkara sebelumnya, namun justru muncul laporan baru terkait TPPU. “Ini menjadi aneh karena unsur TPPU sejatinya berkaitan dengan hasil tindak pidana seperti korupsi, narkotika, atau perdagangan manusia, yang tidak relevan dengan substansi perkara ini,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengungkap bahwa Mawardi sebelumnya telah menggugat secara perdata dan memenangkan perkara melalui Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor: 137/Pdt.G/2018/PN Mtr pada 6 Maret 2019, yang menyatakan penggugat wanprestasi. Ironisnya, putusan perdata tersebut diabaikan dalam proses pidana selanjutnya, yang tetap memvonis kliennya bersalah berdasarkan Putusan PN Mataram Nomor: 627/Pid.B/2019/PN Mtr, tertanggal 19 Desember 2019.
“Kami menilai klien kami dipaksa menerima vonis dengan jalur banding yang seolah-olah ditutup. Ini bentuk pelanggaran terhadap hak hukum warga negara,” ujar Lilik.
Ia juga menyayangkan peran sebagian media lokal yang dinilai menyudutkan kliennya secara sepihak dan tidak berimbang. “Pencantuman nama terang tanpa inisial dalam pemberitaan jelas melanggar kode etik jurnalistik, apalagi perkara ini belum inkrah dan masih dalam proses,” imbuhnya.
Sebagai bagian dari pembelaan terhadap insan pers, Lilik menegaskan pihaknya bersama Dewan Pers Independen (DPI) akan mengawal ketat kasus ini. “Kami sebagai advokat dan pembela kebebasan pers, terutama untuk insan pers independen, akan berdiri di garda terdepan melawan kriminalisasi,” pungkasnya.
(Tim Redaksi)